Senin, 04 April 2011

keberuntungan

"Jika di dalam hidup ini ada yang namanya keberuntungan, maka ia hanya akan menghampiri orang-orang yang siap menerimanya" (Pak Terry Mart, di kuliah stuktur Nukleon)

Senin, 17 Januari 2011

Being and Nothingness

Ruangan ini seperti biasa, sepi. Lab teori, nama yang agak sedikit mistis karena penyebutannya hanya akan membuat tertawaan teman-teman. Membayangkan sebuah Lab yang identik dengan peralatan eksperimen, zat-zat kimia, atau phantom. Tapi tidak dengan lab teori. Cukup terwakili oleh kata kedua yaitu teori. Yang dapat menggambarkan bahwa peralatan eksperimen lab ini hanyalah buku, papan tulis, dan kertas.

Tempat diskusi, mungkin itu kata yang cukup tepat. Karena memang biasanya seperti itu. Tempat yang tak hanya namanya yang mistis, tapi juga penghuninya. Penghuninya adalah orang-orang minoritas yang keluar dari jalur normal, memilih hidupnya untuk jadi kutu buku dan senang dengan simbol-simbol yang juga penuh mistis.

Menurut teori, orang itu lebih senang pada zona nyaman, di mana memilih jalur tidak normal adalah sebuah kesesatan yang nyata. Maka dari itu, menjadi fisikawan teori adalah sebuah kesesatan yang nyata, menjadi budak buku dan bergelut dengan simbol-simbol yang terkadang tidak mereka tahu realita sebenarnya.

Tapi inilah kenyataannya. Dalam kehidupan sehari-hari, kebanyakan manusia takut untuk hidup sebagai dirinya. Manusia terkadang hidup mengikuti cara-cara kebanyakan yang dilakukan masyarakat sekelilingnya. Seperti kata Heidegger, “Kita gembira dan menjadi bahagia seperti juga mereka. Kita membaca dan menilai kesusastraan seperti cara mereka membaca dan menilainya. Kita terkejut tentang hal-hal yang mereka anggap mengejutkan”.

Akhirnya, tak banyak yang memilih jalur fisika teori. Yang ada pun mungkin mereka memilih mengakhiri masa remaja akhir mereka dengan tanpa kesenangan yang nyata. Maka dari itu, lab teori tidak cukup besar. Kecil pun tak pernah ramai pengunjung. Menurut orang-orang, lab teori hanya tempat bagi orang-orang individualis. Di sinilah mistisnya, jarang ada orang yang tahu bahwa kesendirian itu pernah membuat seseorang ada untuk dirinya sendiri. Tapi terkadang, kesendirian juga pernah menjadi pembunuh jiwa-jiwa yang kosong, membunuh karakter, bahkan sampai membunuh dirinya.

Hari itu di lab teori ada diskusi panjang mengenai partikel-partikel fundamental penyusun materi kehidupan. Diskusi yang cukup menarik. Sesaat aku teringat kata-kata Spinoza yang berkata, “Deum inicum, hoc est rerum non nisi unam substantiam dari.” Tuhan itu Satu, karenanya seluruh benda yang ada di alam raya hanya memiliki satu substansi. Inilah mungkin motivasi CERN mencari apa yang mereka namakan “Partikel Tuhan”. Inilah motivasinya kenapa kita harus belajar fisika. Setiap aku tahu tentang partikel baru, maka pertanyaanku mulai terjawab, mengapa Tuhan menciptakan kehidupan?. Jawabannya adalah agar ada pertanyaan itu dikehidupan ini. Itu kata Pak Terry Mart yang cukup membuat kita terdiam tak bisa membantahnya.

Tapi aku tak tahu apakah orang-orang pernah menyadari bahwa kehidupan tersusun dari “ketiadaan”?. Aku tak tahu apakah kata “ke-tiada-an” itu memang benar-benar ada atau hanya penamaan karena pengetahuan kita tentang keberadaan sesuatu yang masih belum bisa kita pahami. Kata yang masih dalam bentuk-bentuk yang paling sederhana yang dapat mencapai pikiran kita adalah kata “tiada”. Lalu Pak Terry berkata lagi, “sesuatu yang tidak ada itu, ada”. Ah, aku tersenyum kecil karena aku berfikir Pak Terry bisa membaca raut muka ku yang masih penuh dengan pertanyaan. Dia menjawab tanpa aku bertanya. Atau apakah memang ketika berlajar tentang ini, pertanyaan di dalam diri setiap manusia memang begitu. Entahlah. Yang jelas, semua orang menyepi, mengamati untuk mengerti.

Lab yang tadinya ramai meluruh menjadi sepi. Yang awalnya ada beberapa orang, kemudian kembali menyendiri. Waktu itu, semua orang meninggalkan ruangan satu per satu. Tinggal aku sendiri di lab. Otakku masih sibuk memikirkan kata ada dan tiada. Tapi saat itu aku menyadari sesuatu, benarkah aku sendiri di lab teori?, jawabannya adalah tidak. Ada dia yang selalu sendiri. Dia yang menyendiri.

“Tidak kah kamu merasa bahwa kamu tak hidup?”, aku bertanya padanya penuh ragu.

“Hidup?”

“Ya, hidup. Tidak harus seorang saintis itu menyendiri, individualis, sehingga mereka tak pernah benar-benar hidup.”

“Tentang arti hidup untuk seorang makhluk yang bernama manusia, biologi cukup menjelaskan itu.”

“Tapi tidak dengan realitas”.

Ia sesaat terdiam. John A. Wheeler percaya bahwa realitas diperankan oleh kesadaran. Struktur materi tidak mungkin independent dari kesadaran. Kesadaran adalah jembatan antara yang disadari dan yang menyadari. Hasil perpaduannya akan menciptakan realitas. Kesadaran bukan saja tentang dunia di sekelilingnya tapi juga kesadaran tentang dirinya sendiri. Seorang manusia sadar bahwa ia sadar. Dia sadar bahwa ia memiliki kesadaran. Inilah bentuk eksistensi manusia yang akan disadari oleh kesadaran oranglain. Lalu terciptalah realitas kehidupan.

“Aku ada di realitasmu. Maka aku telah pernah hidup”. Tukasnya dingin. Aku tak bisa berkata apa-apa waktu itu. Hanya pergi tak peduli.

Aku menuruni tangga, dan berfikir mengapa aku bisa sampai tidak menyadari ada dia di lab. Jawaban sementara adalah inilah ketiadaan yang ada. Ketiadaan dalam realitas pikiran orang-orang untuk menyadari bahwa ia ada. Ada yang mengadakan, ada juga yang meniadakan. Sesuatu yang tiada itu, ada. Sekali lagi, inilah jawabannya.

Aku merasa tangga ini tak berhingga. Bagai pertanyaanku yang tak berhingga jumlahnya. Setiap aku menuruni satu tangga, aku seperti bertanya tentang satu pertanyaan dan tangga berikutnya aku temukan jawabannya. Setiap aku menuruni satu lantai, aku akan menyimpulkan sesuatu.

Aku sadar ada orang-orang yang berpapasan denganku. Hanya untuk kali itu aku mengamati mereka dengan seksama hingga mereka berlalu. Bukan karena aku mengenal mereka atau hanya untuk mengingat-ngingat bahwa aku pernah bertemu mereka sebelumnya, tapi karena aku tidak mengenal mereka sama sekali. Oleh karena itu, mereka tak pernah hidup sebelumnya. Tapi itu berlaku hanya di kehidupanku. Artinya karena mereka tak pernah hidup di realitasku.

Tangga demi tangga terus ku lalui seperti tanpa akhir. Aku teringat untuk meminjam sebuah buku. Kakiku menuju ke perpustakaan. Perpus begitu sepi. Entah kenapa hari ini menjadikanku akrab dengan kata sepi, dan sendiri. Kulihat keluar jendela, hujan mengguyur tersapu kecepatan angin yang membuat setiap orang yang berada di luar akan memiringkan payungnya. Soal mekanika waktu SMA. Aku tersenyum saat melihat buku mekanika. Aku tertarik pada buku yang disampingnya. Tertera judul “Schrodinger’s Cat”.

Yang aku tahu tentang kucing Schrodinger adalah seekor kucing yang memiliki dua fungsi keadaan dalam satu waktu. Yaitu kucing yang hidup tapi juga mati. Keadaan ini dijelaskan dalam eksperimen sederhana. Seekor kucing dimasukan kedalam kotak tertutup dengan sebuah tabung yang berisi racun. Ada sebuah pencacah yang akan memecahkan tabung tersebut. Jika pencacah itu memecahkan tabung, maka racun akan memenuhi kotak, kucing akan mati. Akan tetapi, jika pencacah tidak jatuh memecahkan tabung, maka kucing akan tetap hidup. Percobaan akan dilakukan selama satu jam tanpa kita tahu apa yang terjadi di dalam kotak.

Sangat sederhana tapi cukup membuat teori deterministik bergeser menjadi teori ketidakpastian. Permasalahannya adalah karena dua keadaan yang tertumpuk pada satu waktu. Ini artinya masing-masing keadaan hanya memiliki peluang 50%. Dan ketika kotak dibuka, terjawablah sudah. Hanya akan ada satu keadaan yang muncul. Satu keadaan yang diakui. Entah itu hidup atau mati. Hanya akan ada satu keadaan yang meniadakan keadaan lain. Tapi, apa yang membuat hanya satu keadaan yang ada, dan meniadakan yang lain?, jawabannya ada pada kesadaran pengamat.

Aku berpikir, andai si pengamat tak pernah tahu fungsi keadaan seekor kucing tadi adalah hidup dan mati. Maka hasil pengamatan tak akan pernah menyatakan salah satu diantara kedua fungsi keadaan itu. Andai dalam realitas hidup manusia ada fungsi keadaan ketiga yang terakui maka fungsi keadaan bukan lagi berpeluang 50% lagi, tapi 100/3%.

Oleh karena itu, setiap eksperimen tak akan lepas dalam kata subjektif. Aku tertawa menyadarinya. Seorang saintis harus sebisa mungkin menghilangkan hantu bernama subjektif selama ini. Tapi apakah mungkin?, entahlah.

Benarkah setiap eksperimen itu objektif?, jawabannya adalah tidak mungkin. Karena ada kesadaran dari pengamat yang akan menyadari hasil eksperimen. Sekali lagi, benar kata Wheeler. Ada yang me-nyadari (pengamat) dan ada yang disadari (kucing). Yang menjembatani keduanya adalah kesadaran. Maka terciptalah realitas, kucing itu hidup atau mati. Itu realita dari fungsi keadaan yang terakui oleh manusia kepada sesuatu makhluk yang bernyawa.

Realitas itu akhirnya berkata tentang arti “ada” dan “tiada”. Aku tertawa, teringat orang yang berada di lab teori. Seperti tak pernah ada. Aku ada di realitasmu. Maka aku telah pernah hidup. Terngiang kata-katanya sebelum aku tinggalkan.

“Eh, tapi siapa dia?”. Pertanyaan itu membuatku takut. Aku tahu aku tak pernah tahu siapa dia, tapi sesaat aku memikirkan perkataannya “aku ada direalitasmu”.

Aku berlari menaiki tangga kembali ke lab teori. Ada beberapa suara yang sedang tertawa di dalamnya. Dengan ragu aku buka pintu lab dan kudapati semua tertawaan berubah menjadi raut tanya yang mengarah padaku.

“Kamu kenapa?”. Aku tak bisa menjawab. Tubuhku lemas lalu menjadi kaku karena ketakutan. Ku dapati ia di sana dengan tubuh tergantung. Tanpa orang-orang tahu di papan tulis tertulis “being and nothingness”.