Jumat, 06 September 2013

Kita memang tak harus sama (sebuah draft tulisan yang terlupakan untuk dipublikasikan)

Suatu hari saya pernah berdiskusi bersama teman satu kosan saya dulu. Kita memandang peta dunia dan kita bercerita tentang beberapa negara dengan prolog yang sama sebelum memulai cerita "Dari buku yang gue baca... bla bla bla...".

Sesekali kita menertawakan diri kita masing-masing dan sesekali bercanda pengalaman-pengalaman kita sebagai anak kampung. Lalu teman saya pun berkata "Lo tahu ga mi, temen gue abis kuliah belum dapat kerjaan. Karena dia bete, akhirnya dia ke Australia 3 bulan. Ayahnya kan kerja di sana".
"Orang ya, nganggur aja bisa-bisa nya ke luar negeri", saya menimpali.

Kemudian saya menutup buku TOEFL yang ada di meja saya dan bilang "Enek lama-lama ngejain bahasa. Kita tuh, pengen keluar negeri aja harus guling-guling belajar TOEFL, nyari beasiswa. Ditolak sana-sini. Coba gue bule, atau bapak gue jago bahasa Inggris, atau kalau perlu kita dulu di jajah Inggris ke, biar TOEFL kita mantep dengan sendirinya ga perlu test dan skornya parah terus begini, secara berat banget orang eksak kayak gue belajar bahasa. Andai bahasa sunda itu bahasa international dan gue ngigo doang".

Saya dengan teman saya ini, memang sering bercanda begini. Menertawakan diri sendiri untuk belajar banyak hal. Diskusi itu pun berlanjut tentang ini itu, sampai pada satu kesimpulan atau masih berakhir dengan pertanyaan. Lalu saya akan mencari jawabannya di sudut-sudut kehidupan.

Saya tahu, jalan hidup setiap orang berbeda-beda. Terlahir dengan tanpa bisa memilih untuk dilahirkan dari siapa atau di jaman kapan. Yang perlu kita lakukan hanya terus bermimpi, dan yakin suatu hari pasti ada jalan.

Suatu ketika saya duduk dengan seorang teman yang nilai TOEFL nya jauh di atas saya. Berbicara bahasa Inggris bukan lagi halangan bagi dia. Bulak-balik keluar negeri bukan suatu hal yang aneh bagi dia. Kami mengobrol tentang apa yang akan kami lakukan setelah lulus kuliah. Dia bilang, "gue ingin jadi artis. gue ikut kontes "ini"  "itu" sekarang".

Saya bertemu dengan seseorang yang membuat saya akan diam (gagap) ketika harus menjawab pertanyaannya dalam bahasa Inggris. Saya suka mendengarnya berbicara bahasa Inggris. Karena ketika dia berbicara, dengan aksen yang bagus dan lancar.  "Saya mau jadi pengajar bahasa Inggris di Pare, Mi". Dan saya pun menggerutu, Hellllloooooo.... bahasa Inggris lo jago banget, kalau gue jadi lo ya, gue daftar beasiswa dan sekolah di luar negeri. Lo tahu, mimpi gue kesendat cuma satu alasan BAHASA INGGRIS.

Setelah beberapa kali Tuhan mempertemukan saya dengan orang-orang yang mirip dengan orang-orang di atas, saya berpikir. "Mungkin itulah mengapa mimpi tiap orang berbeda-beda. Sesuatu yang susah untuk seseorang raih."

Dan selalu saya ingat, mimpi itu selalu berharga untuk pemimpinya. Apapun itu. Kita tidak perlu mempunyai mimpi yang sama, karena mempunyai mimpi saja sudah sangat berharga. Mungkin mimpi kita sama, tapi setiap orang punya cerita berbeda untuk mencapainya. Yakinlah...