Jumat, 20 Maret 2015

Mamah : "Apa yang kau cari dalam hidup, nak?"

Apa kabar, Mah?. Apa kau bahagia?.

Suatu hari ingin rasanya aku menanyakan itu pada ibuku. Entah dengan prolog apa. Berpikir setiap hari, dalam kepenatan, dalam ketakutan menghadapi itu, selalu ada pertanyaan ini dalam diri saya. "Apa yang kau cari dalam hidup, mie?".

Ketika kelas 3 SMA dulu, saya bergadang dan belajar mati-matian demi sebuah kelulusan, juga lolos ujian masuk Universitas. Teringat di setiap ibu saya terbangun jam 2 pagi untuk sholat malam, dia pasti mengecek kamar saya. Kalau masih menyala, dia akan masuk dan menanyakan kenapa saya masih belum tidur. Dia menyuruh saya ke luar kamar, menyediakan secangkir teh manis hangat, kalau ada dengan cemilan kue yang tak lain adalah jatah dia makan. Makanan itu selalu untuk saya. Dia sangat risau, melihat anaknya bergadang, terlebih takut tertidur di angkot dan di bawa kabur kalau malam kurang tidur.

Suatu hari, ujian masuk Universitas pun tiba. Dia berkata, dia tidak peduli anaknya lolos atau tidak. Dia bilang, dia takut saya akan stress atau gila kalau tidak lolos masuk universitas mengingat saya belajar keras untuk itu.

Dia juga pernah bilang, dia tidak pernah tahu apa itu SMPB, bahkan dia tak pernah tahu rangking Universitas di Indonesia. Dia tak pernah tahu, banyak para orang tua yang bangga ketika anaknya masuk universitas bergengsi. Ibuku tak tahu. Dia hanya melihat saya lalu berkata, "Mi, maafkan mamah. Mamah ga ngerti apa-apa soal kuliah, apalagi SPMB. Mamah cuma bisa berdoa, dimudahkan segala urusannya. Dimudahkan rizkinya, juga selalu tawakal".

Teringat hari pengumuman masuk universitas pun sudah tiba. Hari ini di rumah sakit, saya bilang bahwa saya lulus masuk UI. Saya peluk ibu saya, dan tak henti-hentinya menjerit. Ibu saya ikut loncat-loncat dalam pelukan saya. Dia tak tahu UI. Yang dia tahu anaknya bahagia karena itu.

Hal masih sama adalah ketika semester 6 masa perkuliahan, menjadi masa dimana IPK semester saya tertinggi sebagai anak FISIKA UI. Hari dimana SIAK-NG mengumumkan IPK semesteran kita. Terduduklah ibu saya depan dua anaknya yang sama-sama serius memandangi komputer. Kaka saya dapat 3.9 dan saya kalah di bawahnya. Tapi saya menjerit karena tidak mudah untuk anak fisika meraih itu. Saat itu juga ibu saya memeluk saya dan ikut menjerit bahagia. Walau saya tahu dia tidak pernah tahu IPK itu apa.

Dan malam ini, saya menulis ini dalam kebingungan dan kebuntuan. Tidak ada yang pernah bilang bahwa menjadi particle physicist akan mudah. Dahulu saya akan menelepon ibu saya sambil menangis karena dapat nilai jelek, atau karena tidak bisa mengerjakan tugas. Ibu saya akan menjawab, "kan kamu yang memilih mau kuliah. Ya kamu kan yang tahu apa yang membahagiakan buat kamu atau tidak". Lalu ibu saya akan mendoakan dengan segudang doanya.

Seorang ibu itu tahu, anaknya ketakutan, walaupun kita tak pernah memberi tahu dia. Lalu dia bilang "Semoga kamu bahagia menjalani hidup". Ya yang kita cari dalam hidup itu ya, kebahagiaan. Semoga kebahagiaan yang mendekatakan kita pada Tuhan.

KL, 20 Maret 2015