Rabu, 23 September 2015

Ketika preman jatuh cinta



Cinta itu magic. Bisa merubah batu jadi bunga, merubah mendung jadi seperti terang, bisa menjadikan sang saintis menjadi seorang penyair dadakan. Ya.. Cinta, yang setiap defininya adalah kebergantungan kepada pelakunya. Yang setiap kesannya, tidak punya penjelasan yang pasti. Semuanya adalah ketergantungan dari sisi mana kita melihatnya.

Ada beberapa teman perempuan (ya bisa dikatakan semi perempuan) yang saya sangat tunggu kisah cintanya akan seperti apa. Perempuan-perempuan bertudung lebar, tapi hanya saja kurang anggun untuk seorang perempuan.

Anggun?, yang seperti apa itu anggun?. Saya rasa bukan dari cara berpakaian, bukan pula dari makeup. Tapi mungkin sikap. Atau mungkin perempuan-perempuan ini pun sebenarnya perempuan yang hanya tidak tidak bersikap perempuan-perempuan pada umumnya.

Terlalu berani, terlalu pintar, terlalu mengambil resiko, dan masih banyak keanehan-keanehan lain. Tapi apa itu semua aneh?. Anehkah menjadi perempuan seperti itu?. Saya perempuan, dan saya salut jika ada perempuan seperti itu. Tapi seorang lelaki berkata kepada saya, "dimana sisi keperempuanan dia, mie?". Saya heran dan sedikit tidak ada ide untuk menjawab apa. Bagi saya dia normal pada umumnya.

Perempuan yang suka pulang malam dan mengambil resiko ini adalah orang penting seantero kampus. Dia adalah seorang ketua. Yang sangat disegani kaum segala kaum. Kalau dimana-mana semangat orasi membakar mengalahkan suara sofran nya yang melengking. Tapi ah, pasti dia perempuan.

Jauh dari cerita perempuan tadi, ada satu teman semi perempuan lain yang mempercayai saya mengenal kisah cintanya. Jujur saya tidak tahu banyak tentang calon suaminya. Tapi, ada seorang pangeran yang bisa melihat dia apa adanya. Dan melelehlah dia.

Perempuan setegar karang ini kini melembek tenggelam di dasar samudera cinta. Dia bertanya, "kenapa saya menjadi risau, galau, kalau ada perempuan mendekati calon suami saya?. Padahal kan sebelumnya saya biasa-biasa saja tidak peduli". Katanya heran.

Dia adalah orang yang terlalu tidak peduli dengan drama cinta. Tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Dia bahkan tidak perduli terhadap lelaki yang baru saja lewat depan matanya walaupun seganteng lee Min Ho sekalipun. Dia perempuan yang jauh dari kata naksir seseorang, karena mungkin dia tidak pernah merasakan lebih dalam perasaan nya sendiri. Di titik ini saya bisa mengatakan perempuan semi keperempuanan dia.

Tapi yang magic di sini ialah, ketika dia memutuskan untuk menerima cinta dari seorang pangeran. Barulah dia tahu apa itu resah, galau, dan semua perasaan "melow" yang dirasakan perempuan-perempuan pada umumnya. Saya percaya, bahwa cinta itu memilih untuk menjaga dan tumbuh membunga. Dan tidak dipungkiri, cinta-cinta pada pandangan pertama yang sampai mematikan itu mungkin ada dikehidupan ini.

Tapi saya lebih percaya, ketika kita memilih, kepada siapa cinta kita akan kita persembahkan, maka itulah cinta. Cinta itu bukan menunggu sampai cinta itu datang, lalu mati karena kecewa. Cinta itu kita tanam, dan berkomitmen untuk menyiramnya setiap saat, memupuk nya dengan kesabaran dan kepercayaan, dan suatu hari kita akan tahu bahwa cinta akan tumbuh dan berbunga dengan indah.

Perempuan seperti apapun kamu, lelaki sehebat apapun anda, kalau cinta kau sambut, dia akan merubahmu.

Hadiah untuk seorang perempuan tangguh, yang sebentar lagi mengakhiri masa lajangnya.
KL,  23 September 2015





Minggu, 20 September 2015

Bakat, kesempatan, dan tuntutan


Banyak hal terjadi dalam hidup kita adalah sebuah pilihan. Kita memilih untuk begini. Sekalipun tersesat, itu karena pilihan untuk menjadi tersesat.

Saya rasa, saya adalah orang yang tidak menyia-nyaiakan kesempatan. Dan saya dengan sadar bahwa saya bukanlah orang yang bisa bertoleransi kepada kondisi yang tidak saya suka. Mengetahui sifat ini menurut saya sangat penting untuk memutuskan jalan hidup ke depannya.

Ada banyak orang berkutat dengan satu keinginan, yang mungkin susah baginya untuk dicapai. Saya rasa, tidak ada salahnya hidup mempunyai ambisi. Dan berusaha untuk mendapatkannya. Tapi, ketika hal itu belum di dapat, perlukah bertahan?. Haruskah berganti tujuan?. Haruskah menukar mimpi?.

Saya bisa bilang, jika kita tidak mau menukar mimpi itu, maka ubahlah caranya. Ubahlah cara untuk menggapainya. Atau, ubahlah cara kita melihat mimpi kita itu.

Suatu hari di kelas fisika Struktur Nukleon di UI dulu, seorang dosen bercerita. Hidup kita itu adalah pencarian. Kalau orang itu tahu bakat dirinya, lalu hidup dengan mengembangkan bakat itu, maka sukses lah orang itu. Tapi banyak orang di dunia ini, yang berkerja, berkarya, bukan dari bakatnya. Terkadang cukup untuk kata hidup, mencari uang, mencari popularitas, atau banyak orang di dunia ini hidup dengan cara yang sama seperti orang lain buat. Menjadi berbeda itu seperti memalukan. Menjadi berbeda itu seperti tidak normal. Akhirnya banyak hidup yang bukan menjadi dirinya.

Tapi inilah hidup. Ada kata kesempatan yang mungkin datang untuk kita cobai. Memilih untuk mengambil kesempatan itu, dan belajar untuk bertahan. Bertahun-tahun bahkan sampai akhir hayatnya tidak pernah menjadi dirinya. Salahkah orang itu?. Saya rasa tidak. Orang itu sudah belajar banyak hal.

Ada banyak orang, menukar mimpi nya karena tuntutan. Tuntutan keluarga, tuntutan hidup, tuntutan politik, dll. Lalu bertahan begitu. Salahkah?.

Kita punya mimpi, tapi adakah kesempatan?. Kalau yang kehidupan tawarkan adalah kesempatan lain, kenapa tidak dicoba saja. Mungkin kita akan menemukan kita yang lain, bakat kita yang lain. Jika salah jalan, ada istilah kembali ke titik awal. Terlambatkah?. Ah, tidak perlu khawatir. Kita banyak belajar dari apa yang salah itu lebih baik daripada tidak belajar sama sekali sekalipun ada di jalan yang benar.

KL, 21 September 2015

Minggu, 13 September 2015

Bahagia dengan hal sedernaha






Bahagia itu tidak perlu mahal. Tidak perlu pergi ke tempat-tempat popular dulu di pelosok dunia ini. Juga tidak perlu sesuatu yang aneh. Bahagia itu bersyukur. Ya, itu kuncinya.

Suatu hari, saya mengajar seorang anak SD di daerah elit di kawasan Jakarta. Rumah anak itu besar, juga di daerah yang tidak banjir. Dia masih SD. Anak pertama dan punya seorang adik yang sangat lucu sekali.

Tidak susah untuk menjadi akrab dengannya. Selama saya mengajar di situ, tak sekalipun saya melihat ayah dan ibunya. Hanya 3 pembantu yang siap melayani apapun keperluan anak itu. Saya tidak mengajar, tepatnya mengasuh. Saya hanya menggambar komik, menonton film kartun, atau menyanyi bareng dengan anak itu.

Dia anak yang lucu, namanya Jasmin. Nama panggilannya Jami. Dia aktif, pintar, dan lucu. Dia bercerita bahwa dia pernah pergi ke seluruh antero dunia ini kecuali Afrika. Anak SD dengan segala pengalaman yang membuat kita mengiri. Saya waktu SD hanya bisa pergi sejauh Garut-Jakarta saja.

Dia hafal tentang perbedaan waktu dibelahan dunia. Tahu tentang salju. Tahu tentang banyak bahasa. Tapi, di sisi lain. Saudara saya untuk pertama kalinya pergi ke Surabaya naik pesawat dari Jakarta. Sudah bapak-bapak. Dan betapa senangnya dia menceritakan pengalamannya pergi pertama kali naik pesawat.

Jami mungkin tak akan lagi bangga jika harus pergi-pergi lagi ke eropa, ke Amerika. Bagi dia hal yang paling menyenangkan adalah bisa terbebas dari belajar setiap hari sampai malam. Dia muak harus pergi ke sekolah sampai jam 3, dilanjutkan lagi les piano, les bahasa, les balet. Setelah magrib harus bertemu lagi dengan guru private. Dia muak. Dia menyerah belajar. Dia bahkan tidak tertarik pergi ke luar negeri, karena yang dia mau sederhana, main dengan ayah ibunya. Di rumah setiap hari.

Banyak hal-hal yang kita punya tidak kita syukuri. Padahal banyak orang di luar sana yang hanya menginginkan hal-hal kecil sederhana. Allah tahu yang terbaik. Kadang kita stress terjebak dalam situasi yang kita tidak mau. Tapi Tuhan tahu. Jalani saja dengan penuh kesyukuran. Hidup akan bahagia.

Senin, 07 September 2015

Tidak ada mimpi yang sederhana


Suatu hari, saya pernah melihat acara TV. Bintang tamu waktu itu adalah Gita Gitawa. Dia ditanya alasan mengapa ia memilih London sebagai tempat buat dia belajar. Jawabannya adalah karena waktu umur tujuh tahun, dia pernah dibawa ayahnya pergi ke London. Dan dia bermimpi, suatu hari dia ingin belajar di sana.

Mendengar itu saya teringat, ketika ibu saya pernah bilang. Dia ingin sekali naik pesawat. Kemanapun itu, dia ingin sekali naik pesawat. "Mungkin suatu hari insya Allah ingin naik haji". Katanya.

Seorang Gita Gutawa mempunyai mimpi ingin belajar di UK sejak umur tujuh tahun. Saya sewaktu tujuh tahun sibuk melogikakan kenapa bumi itu bulat, kenapa ada siang dan malam. Mimpi kita sederhana, ingin makan pizza. Makanan yang hanya kita jumpai di iklan-iklan TV kala itu. Pizza yang tidak di jual di warung-warung kampung.

Di umur saya yang masih tujuh tahun kala itu, saya tidak tahu UK, CERN, fisika. Mimpi kita sederhana, dibelikan tas bergambar tokoh F4 yang popular kala itu. Kadang berpikir, beruntungnya jadi Gita Gutawa. Tapi jika dipikir ulang, bagi kita, naik pesawat pun adalah cita-cita. Sesuatu yang sedrhana menjadi sangat berkesan ketika pertama kali menaiki pesawat. Bagi kita, makan pizza jadi cerita. Dan bagi kita hal yang sederhana itu tidak pernah kita sepelekan. Beruntung nya jadi saya.

Baik Gita Gutawa, atau pun ibu saya. Mereka sama-sama punya mimpi. Apapun itu mimpinya, bukankah mimpi itu selalu berarti bagi orang yang memimpikannya?. 

Lalu, di sebuah drama korea, ada satu cerita yang saya akan selalu ingat. "Mimpi itu tidak pernah ada ukuran kecil besarnya. Karena setiap mimpi itu selalu berarti untuk orang yang memimpikannya".

Jangan takut bermimpi. Seperti anak kecil yang bebas ingin menjadi siapapun. Yang penting ada kemauan. Mimpikan terus, dan terus usahakan. Begitu kata ka Haryo di berita viva.co.id hari ini yang saya baca.

KL, 7 September

Jumat, 04 September 2015

Apresiasi

Nabi Muhammad benar untuk menyuruh kita diam kalau tidak bisa berkata baik. Tapi di sisi lain, berkata baik itu sangat perlu daripada diam.

Saya sebetulnya sangat menyadari bahwa saya tidak bisa berbahasa Inggris yang bagus. Terbata-bata, grammar yang mungkin ancur. Tapi saya punya cerita kenapa saya pede-pede saja dengan kekurangan itu. Cerita itu tidak saya ceritakan di sini, karena hari ini saya ingin bercerita tentang hal lain.

"Ami, bahasa Inggris kamu sudah sangat lebih baik dari sejak pertama kali kita bertemu". Kata seorang teman saya. Dia berkewarganegaraan India. Dengan aksen dia dan bicara nya yang sangat cepat, terkadang saya tidak mengerti dia sedang bilang apa. Dia seorang peneliti posdoc yang sangat pintar.

Saya pernah menangis karena orang ini. Karena saya pernah ditolak untuk menjadi mahasiswa bimbingannya. Saya pernah berfikir, mungkin karena bahasa Inggris saya yang kurang, dan dia cenderung suka serba cepat, masalah komunikasi kita berdua sering tidak berjalan baik.

Saya cenderung banyak diam. Berusaha survive dengan cara lain. Berusaha lebih keras daripada orang lain. Dengan tidak menyerah pada kekurangan. Setiap minggu harus presentasi dengan bahasa Inggris. Membaca paper berulang-ulang. Membaca banyak artikel dari berbagai sumber. Demi memahami apa yang saya pelajari.

"Pemaham kamu tentang projek CERN juga sudah lebih baik. Presentasi bulan Mei lalu lebih baik daripada Januari lalu". Saya hanya bisa bilang terimakasih karena kata-kata dia sangat berarti buat saya dan membuat saya lebih bersemangat.

Saya sepenuhnya menyadari bahwa hidup terpengaruh dari komen orang lain itu tidak bagus. Bersemangat ketika diapresiasi baik oleh orang lain dan terpuruk ketika mendapat kritikan, hujatan, dari orang lain. Tapi terkadang, kita belajar bahwa perubahan kita sekecil apapun menjadi berarti dan kita akan tahu dari komen orang lain.

Dalam hati kecil saya, saya berterimakasih kepada beliau. Dia tidak pernah bilang bahwa bahasa Inggris saya sangat buruk. Tapi dia bilang ketika bahasa Inggris saya membaik. Bukankah dia adalah orang yang sangat baik?.

Kita bisa belajar untuk begitu. Berkata yang baik. Yang membawa kebaikan. Walaupun kadang mengkritik dan dikritik itu sangat penting, tapi dengan cara baik itu lebih baik.

Terimakasih...

Serba Pertama Kali

Tanggal 22 Agustus 2011, ada sebuah konferensi di Seoul. Konferensi ini bidang fisika nuklir. Bertempat di Sungkyunwan University. Foto ini muncul di beranda facebook saya. Mengingatkan saya tentang perjalan 4 tahun yang lalu. Saya sering menyebutnya "perjalan serba pertama kali". Karena banyak hal yang pertama kali terjadi dalam hidup saya.

Hal yang pertama kali itu selalu memberikan arti dan kesan yang lebih. Pertama kali naik pesawat, pertama kali ke luar negeri, pertama kali pergi konferensi, pertama kali harus ngomong bahasa Inggris, dan banyak pertama kali-pertama kali lainnya. Dan yang saya rasakan waktu itu, segala hal yang harus dilalui terasa sangat sulit. Sampai menyerah dan memutuskan tidak jadi pergi.

Seminggu sebelum keberangkatan, tiket pesawat belum ada, visa belum ada, pun slide presentasi yang belum jadi, dan yang paling bikin gila hasil penelitian yang perlu ditampilkan juga belum bagus. Dan dalam kapasitas saya yang masih mahasiswa semester empat, bukan hal yang mudah melakukan penelitian ini. Bahkan jujur saja, saya tidak tahu apa yang saya kerjakan.

Tidak ada jalan lain, menyerah adalah hal yang lebih mudah. Karena kalau pun jadi pergi, banyak hal yang saya tidak tahu. Banyak hal yang harus saya lakukan. Dan saya ketakutan membayangkan itu semua. Membayangkan hal yang belum terjadi itu lebih mengerikan ketimbang melalui keadaan tersulit sekalipun yang di depan mata.

Entah rizki dari mana, setelah menyatakan permintaan maaf ke Pak Imam, bahwa saya tidak mungkin bisa ikut, akhirnya keajaiban datang.  Malam itu juga, ada orang yang mau mensponsori saya bahwa tiket saya pulang-pergi sudah dibelikan dan tinggal diambil ke Bogor.

Saya mengurus semua serba kilat. Menangis-nangis di kedubes korea demi visa. Ke sana kamari sendiri, dan mendekati hari H keberangkatan, saya semakin takut. Korea yang diidamkan banyak kaula muda bagi saya menjadi sangat mengerikan kala itu.

Saya ketakutan, saya pun curhat kepada pembimbing saya dan sangat ketakutan. Dia membalas pesan singkat saya. "kalau kita bisa menaklukan rasa takut pada hal pertama kali, dengan mudah kita bisa melewati hal-hal luar biasa yang lainnya, untuk kedua, ketiga kali bahkan sampai nanti-nanti".

Setelah bisa melewati yang pertama, perjalanan kedua-ketiga pun lebih mudah. Walaupun tingkat kesulitan pun bertambah. Tapi itulah hidup. Segala kesusahan yang ada menjadikan kita orang yang lebih kuat.

KL, 4 September.
Mengingat jejak jejak masa lalu....