Kamis, 30 Januari 2014

Cinta yang terdefinisi


"Andai kita seiman, gue udah jatuh cinta sama elu."

Itu kata-kata yang selalu ku ingat dari mulutmu setahun yang lalu. Jujur, aku tak bisa berkata apa-apa selain tersenyum pada takdir bahwa kita memang beda.

Kerukunan beragama memang punya teori batasannya. Tapi tidak untuk cinta. Cinta tidak hanya bisa bersemi pada persamaan, tapi juga pada perbedaan seekstim iman sekalipun.

Yang menjadi permasalahan adalah tentang mendefinisikan tentang sesuatu itu sendiri. Kita bergelut dengan kata iman, kita bergelut dengan kata cinta, tapi kita tak pernah mengerti apa itu.

Dua bulan yang lalu, kau memberi tahuku kabar bahagia. Seorang perempuan yang kau temui di gereja, akhirnya menjadi pacarmu. Dengan sangat antusias kau menceritakan tentang dia kepadaku. Yah, aku tahu. Kau baik dan pasti ada perempuan yang suka sama kamu.

Kisah muka bahagia itu hilang hari ini. Kita duduk di meja yang sama, tetapi dengan cerita yang berbeda. Dua bulan lalu, cerita itu tentang pertemuan. Hari ini, cerita itu berubah menjadi perpisahan.

Kebahagiaan dulu kini menjadi kesedihan. Kepercayaan diri dulu, kini berubah menjadi kerendahan diri. Kini tinggal cerita perpisahan dan dia menjadi rendah diri dengan seketika.

"Gua ga tahu kenapa, padahal perasaan gua udah ngelakuin apapun buat dia. Tapi dia malah deket sama orang lain." Tuturnya kesal.

Jujur, aku terdiam. Tidak tahu harus berkata apa. Tidak ada ide untuk menghiburnya. "Gue beliin lo eskrim ya?.". Hanya itu yang bisa ku lakukan.

Aku kembali ke meja membawa dua eskrim coklat dan menyodorkannya ke dia yang bermuka kecewa. "Udah, yang salah bukan elu kok, ga ada yang salah dari elu. Lu pernah bilang kan, kalau kita seiman, lo bakal jatuh cinta sama gue. Dan gue kayaknya berpikir hal yang sama.".

Ya, kamu tidak perlu menjadi ganteng dulu untuk aku sukai. Kamu tidak perlu menjadi lebih pintar dulu untuk aku kagumi. Hanya satu, merubah imanmu maka aku akan menjadikanmu imamku.

Ah, iman dan cinta berkejar-kejaran mencari definisi. Meminta untuk tidak dicampur adukkan. Mencoba mengasingkan untuk satu kata bisa bersama.

Kata-kataku padamu mungkin tak pernah menjadi solusi. Meskipun kita sama-sama tahu. "Kau tahu, cinta seharusnya seperti iman." Kataku memulai menjelaskan.

"Karena terlalu cinta pada Tuhan, ada kata iman. Kita tak akan berpaling, meski sungguh mengiginkan kebersamaan itu. Jika memang dia benar-benar cinta sama lo, seharusnya dia ga akan berpaling dari lo. Bersyukur saja, lo kini tahu sifat jeleknya dia sekarang.". Lanjutku.

"Sungguh, gua kecewa banget. Sakit banget dihianatin. Emang cewe kalau ngeliat cowo itu dari apanya sih?". Kekecewaan mu pun belum selesai.

"Semuanya adalah tentang definisi.  Bagaimana kita mendifinisikan cinta, iman, atau kebersamaan. Gue lebih suka jadi temen lo. Dimana gue masih dengan santai bisa ngobrol, cerita, makan bareng. Itu cara gue ngedefinisikan cinta dan kebersamaan." Jawabku.

Teringat guru matapelajaran kewarganegaraan waktu smp mengajrkan bahwa semua agama mengajarkan kebaikan. Mungkin agama dan iman punya banyak definisi. Tapi kebaikan hanya punya satu definisi. Kebaikan seorang manusia dan diterjemahkan dalam bahasa manusia lain itu selalu sama. Didefinisikan oleh hati nurani.

Dan jika cinta adalah tentang definisi harfiah, maka cinta akan dibatasi oleh rupa, bentuk, dan waktu. Dan tak akan ada cinta yang bertahan lama. Tapi jika hati sudah mendefinisi cinta, maka segala batas akan diterjang untuk satu keadaan, bersama selama-lamanya.

Aku belajar sesuatu dari ini. Kita hidup dalam ruang yang terdefinisi. Mendefinisikan cinta dengan hati yang tanpa batas sudah saya rasakan. Dan cinta memang begitu. Tanpa batas. Yang salah adalah, cinta untuk manusia yang hidup dalam ruang yang terdefinisi. Dan kita menerjemahkan cinta dalam definisi lain yang akhirnya terbatasi "Iman".

Kau memilih begitu, akupun juga. Memilih mencintai Tuhan kita masing-masing. Memilih pilihan-Nya, memilih memahami definisi cinta seperti mencintai-Nya. Kita tak perlu merasa bersalah karena pernah mencintai manusia yang salah. Karena mencintai yang benar hanyalah mencintai Ia.


KL 31 Januari 2014













Tidak ada komentar :

Posting Komentar